TANGERANG, LENSABANTEN.CO.ID – Polresta Bandara Soekarno-Hatta mengungkap kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang melibatkan jaringan pengiriman pekerja migran Indonesia ke luar negeri. Dari hasil penyelidikan, polisi menetapkan 39 orang tersangka. Salah satunya diketahui merupakan warga negara asing asal Lebanon.
Kapolresta Bandara Soekarno-Hatta Kombes Pol Ronald Sipayung mengatakan, pengungkapan ini merupakan hasil kerja sama antara kepolisian, Kementerian Imigrasi, dan BP3MI Banten. Kasus tersebut berkaitan dengan perlindungan pekerja migran Indonesia serta pencegahan TPPO.
Dari 39 tersangka, sebanyak 15 orang telah menjalani proses hukum sementara 24 lainnya masih buron. Polisi kini tengah melakukan pengejaran terhadap seluruh daftar pencarian orang (DPO).
“Salah satu DPO merupakan warga negara asing yang punya peran signifikan menjembatani warga Indonesia untuk diberangkatkan ke luar negeri,” ungkap Ronald kepada para Jurnalis, pada Kamis, 9 Oktober 2025.
Ia menjelaskan, para korban dijanjikan gaji tinggi di luar negeri, berkisar Rp15 juta hingga Rp30 juta per bulan. Negara tujuan yang ditawarkan antara lain Arab Saudi, Malaysia, Kamboja, Korea Selatan, Taipei, dan Singapura.
“Motif mereka mau diiming-imingi bekerja di luar negeri karena janji mendapatkan gaji besar,” katanya.
“Ada yang dijanjikan sebagai asisten rumah tangga, ada yang dijadikan bagian dari sindikat penipuan atau judi online,” lanjutnya.
Ronald menuturkan, peran para tersangka bervariasi mulai dari perekrut, pengurus dokumen, hingga penyedia transportasi bagi calon pekerja migran. Motif ekonomi menjadi alasan utama mereka terlibat dalam jaringan ilegal tersebut.
“Biasanya mereka dijanjikan honor antara Rp2 juta sampai Rp7 juta untuk setiap orang yang berhasil diberangkatkan,” ujarnya.
Beberapa pelaku perempuan juga turut terlibat langsung dalam proses perekrutan. Mereka aktif mencari calon korban di daerah asal hingga mendampingi ke Bandara Soekarno-Hatta.
“Banyak yang berasal dari Jawa Barat. Mereka mendatangi calon korban, menawarkan pekerjaan, dan ikut mendampingi hingga ke bandara,” jelas Ronald.
Ronald menambahkan, salah satu DPO asal Lebanon memiliki peran penting dalam pendanaan dan pengaturan keberangkatan korban. Ia disebut ikut merekrut, mendanai, dan mengatur dokumen keberangkatan pekerja migran.
“Dari hasil penyidikan, warga negara Lebanon ini turut serta merekrut dan mendanai. Mereka mengurus dokumen serta mencari tempat penerimaan di negara tujuan,” kata Ronald.
Modus yang digunakan sindikat ini cukup rapi, dengan cara menyamarkan tujuan keberangkatan para korban. Pelaku menggunakan dokumen palsu seperti visa ibadah dan visa kunjungan untuk menutupi tujuan sebenarnya.
“Pelaku menggunakan visa ibadah atau visa kunjungan, padahal setelah diperiksa, tujuannya adalah bekerja di luar negeri,” ungkapnya.
Dalam kasus ini, polisi menyita berbagai barang bukti berupa paspor, boarding pass, KTP, serta dua mobil yang digunakan untuk mengangkut calon pekerja migran Indonesia (CPMI). Para pelaku juga menawarkan pekerjaan melalui media sosial dan pesan singkat.
“Mereka menyebarkan tawaran kerja lewat WhatsApp atau direct message di media sosial,” terang Ronald.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 83 Jo. Pasal 68 atau Pasal 81 Jo. UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, serta UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. Hukuman maksimal mencapai 15 tahun penjara dan denda hingga Rp15 miliar.
“Pengungkapan ini akan terus berjalan. Ke-24 tersangka yang masih buron akan kami kejar hingga semuanya bisa diproses hukum,” tegas Ronald.
Ia juga mengimbau masyarakat agar tidak mudah tergiur tawaran kerja ke luar negeri yang tidak melalui jalur resmi. Polisi meminta masyarakat lebih berhati-hati terhadap oknum yang menjanjikan pekerjaan dengan gaji besar.